Kamis, 17 Februari 2011

MENGAMPUNI

Karen memikirkannya.  Karen memimpikan dirinya.  Karen melihat dirinya dalam setiap wanita yang dia jumpai.  Bahkan, sebagian wanita menyandang namanya, Cathy.  Sebagian wanita lainnya memiliki matanya yang cekung berwarena biru atau rambutnya yang keriting berwarena gelap.  Bahkan, kemiripan dengannya sekecil apa pun mampu membuat perut Karen kram. 


Minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu.  Tidak bisakah Karen melepaskan diri dari bayangan wanita yang telah mengejar suami Karen,! Jack, dan kemudian menikah dengannya, menyusul perceraian mereka?  Rasa benci, bersalah, dan marah sungguh menguras tenaga Karen  dan dia menjalani hidup ini tanpa gairah.  Karen berusaha dengan segala macam cara agar terbebas dari bayangan wanita itu.  Karen mengikuti konseling.  Karen menghadiri kelas-kelas untuk memberikan pertolongan terhadap diri sendiri dan mendaftarkan diri dalam berbagai seminar serta lokakarya.  Karen membaca banyak buku dan berbicara dengan siapa pun yang mau mendengarkan dia. 



Karen berlari.  Karen berjalan menyusuri pantai.  Karen mengemudikan mobil berkilo-kilo jauhnya tanpa tujuan.  Karen  menjerit dengan membenamkan wajah di bantal pada malam hari.  Karen berdoa.  Karen menyalahkan diri sendiri.  Karen melakukan apa saja, kecuali menyerah. 



Sebelum wanita itu hadir dalam kehidupan Karen, hari-hari yang dia lalui terasa mudah, dapat diprediksi, dan dipenuhi hal-hal indah, hal-hal yang dirindukan sebagian besar wanita; suami yang sukses, anak-anak yang dia cintai, bermain tenis bersama teman-teman tiga kali seminggu di pagi hari, beribadah di gereja pada hari Minggu, liburan musim panas, sebuah keluarga yang menyenangkan, dan sebuah mobil bagus.  Kurang apa lagi ? 



Kini tiba-tiba segalanya berubah.  Kehidupan Karen takkan pernah sama seperti dulu lagi.  Karen membenci pria yang telah dia cintai selama lebih dari sepuluh tahun itu-suami Karen, ayah anak-anak Karen.  Karen membenci wanita itu.  Diapun mulai membenci dirinya sendiri.  Bagaimana mungkin solusi positif dapat muncul dari tengah-tengah kepedihan dan rasa sakit hati semacam itu? Tanya karen berulang kali dalam hatinya.  Bagaimana dapat melanjutkan bahtera rumah tangga ini? 



Karena tidak mendapatkan jawaban seketika.  Namun, pada suatu Sabtu, sebuah gereja di daerahnya mengadakan seminar sehari tentang kuasa pemulihan dalam pengampunan, dan Karen tertarik untuk mengikuti acara itu.  Setelah melewati bagian pendahuluan, sesi diskusi dan sharing, sang pemimpin mengajak para peserta untuk memejamkan mata dan membayangkan orang yang belum mereka ampuni dalam kehidupan mereka karena alasan apapun.  Nama Cathy langsung muncul dalam pikiran Karen. 



Berikutnya, ia bertanya apakah mereka bersedia mengampuni orang itu atau tidak.  Hati Karen mengeras.  Bagaimana mungkin saya mampu mengampuni orang seperti Cathy?  Ia tidak hanya melukai hati saya, ia juga melukai hati anak-anak saya.  Sungguh tak terampuni. 



Kemudian, karen merasakan suara Allah yang lembut berbicara dalam hatinya.  Siapakah kau melepaskan masalah ini?  Melepaskan wanita itu? 



Karena yakin suara detak jantungnya dapat didengar semua orang di sekelilingnya.  Ya, saya bersedia.  Saya tidak mampu lagi menyimpann kemarahan saya.  Kemarahan itu akan membunuh saya.  Pada saat itu, tanpa melakukan hal lainnya, suatu perubahan yang luar biasa terjadi dalam diri Karen, dia dengan mudah melepaskan kemarahan itu. 



Untuk pertama kalinya sejak ditinggal suami, dia menyerahkan kendali atas hidupnya kepada Tuhan.  Karen melepaskan cengkeramannya pada Cathy, pada Jack, dan pada dirinya sendiri.  Karen melepaskan kemarahan dan kebenciannya. 



Betapa selama ini karen menjadi seorang yang merasa diri lebih baik daripada orang lain.  Betapa dia kerap bersikap menghakimi.  Betapa pentingnya bagi dia untuk dianggap benar tanpa memedulikan kerugian yang harus dia tanggung.  Karen memang harus menanggung kerugian besar, yakni kesehatan, spontanitas, vitalitas dan kedekatannya dengan Allah. 



Malam itu dia tidur nyenyak sampai pagi.  Seakan tidak ada mimpi.  Tidak ada wajah Cathy yang menghantui.  Tidak ada hal-hal yang mengingatkan dia pada peristiwa buruk itu.  Jika menurut kehendak pribadi, karen tidak tahu apakah dia akan memiliki keberanian atau kebesaran hati untuk mengambil langkah awal.  Syukurlah, hal ini tidak diserahkan pada kehendaknya pribadi.  Tak diragukan lagi, kuasa Roh Kudus bekerja dalam dirinya.  Hari senin berikutnya, Karen berjalan masuk kantor dan menulis sepucuk surat kepada Cathy.  Kata-kata mengalir begitu saja di atas kertas itu. 



”Yang terhormat Cathy,”  dia memulai tulisan.  Karen melanjutkan tulisan itu dengan menceritakan kepadanya apa yang terjadi di sepanjang seminar tersebut.  Karen juga menceritakan betapa selama ini dia membencinya karena perbuatannya terhadap pernikahan dan keluarganya, serta akibatnya, selama ini dia menyangkal adanya kuasa pemulihan dalam pengampunan bagi mereka berdua.  Karen meminta maaf atas pikiran-pikirannya yang dipenuhi kebencian, kemudian mengampuni Cathy.  Karen membubuhkan namanya, memasukkan surat ke dalam amplop, dan memasukkannya ke dalam kotak pos tanpa ragu.       



Pada hari Rabu siang telepon berdering.  ”Karen?”  Karen tahu pasti suara siapa itu. ”Ini Cathy,” ujar Cathy pelan.  Karen terkejut betapa saat itu perutnya tetap tenang.  Tangannya tidak berkeringat.  Suaranya tetap terdengar mantap dan pasti.  Karen lebih banyak mendengarkan yang tidak biasanya bagi dia lakukan.  Karen menjadi tertarik untuk mendengarkan apa yang harus dikatakan Cathy. 



Ia mengucapkan terima kasih atas suratnya, dan ia mengakui keberaniannya dalam menulis surat tersebut.  Kemudian ia menyatakan penyesalannya atas segalanya.  Ia mengutarakan secara singkat tentang penyesalannya, kesedihannya bagi Karen, anak-anaknya, dan masih banyak lainnya.  Semua yang ingin dia dengar darinya diutarakan olehnya hari itu. 
Namun, saat Karen menaruh kembali gagang telepon, suatu pemahaman lain melintas dalam benaknya.  Karen sadar bahwa mendengar permintaan maafnya terasa indah, tetapi permintaan maaf itu tidak berarti jika dibandingkan dengan apa yang Allah ajarkan kepada Karen.  Tanpa sadar, dia terkubur dalam di tengah trauma perceraian merupakan fakta yang selama ini justru dia kejar sepanjang hidup.  Allah adalah sumber segalanya bagi dia, kekuatannya, pemenuh kebutuhannya.  Hanya dia yang dapat memberikan pemulihan kekal.  Hanya Dia yang dapat membawa damai sejahtera ke dalam jiwa dan dunianya. 





Inspirasi 



Kisah Karen sering kita jumpai disekitar kita, mungkin saja diri kita sendiri, keluarga kita, teman kita atau siapa saja, bisa menghadapi peristiwa memiluhkan seperti pengalaman Karen, betapa tidak suami terkasih diambil orang, sakit hati sebagai manusia normal.  Tetapi apa dikata kenyataan dihadapi Karen dimana berdampak pada hidupnya sendiri dan keluarga.  Depresi berat dialami Karen tentu.  Tetapi sebagai manusia ciptaan Allah, ada saja yang bisa terjadi dan membalikkan pikiran dari yang rasa benci, dendam menjadi baik dan itulah peranan bisikan Roh Kudus.  Pengalaman ini dialami Karen dimana Tuhan membisikkan kehatinya untuk mengampuni Cathy.  Alhasil terjawablah apa pergumulannya dimana akhirnya Karen mengampuni melalui menulis sepucuk surat, dan balasannya musuhnya Cathy merespon positif.  Akhir kisah terjadi rekonsiliasi yang damai diantara mereka berdua.  Pelajarannya ialah sedalam apapun dendam, benci kalau Roh suci berbisik, kita manusia berdosa akan luluh hati juga, ajaib bukan!  Jadi bila diantara kita, tetangga, teman, saudarapun, ada yang mengalami nasib serupa ajak dia berdoa minta petunjuk dan akal budi niscaya Tuhan meleburkan hati yang sudah membatu sekalipun.  Ingat, memendam rasa benci tidak membawa manfaat dalam hidup, lebih banyak mudaratnya daripada mujarabnya.  Lebih dalam kita memendam lebih sakit hati, ingat masih banyak orang yang mengharapkan dukungan kita dalam hidup.  Didalam 1 Petrus 3 : 9 berkata : ”Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.”  Ralp Erskine berkata :”Hukum Taurat menghancurkan hati yang keras, Namun Injil meluluhkannya.  Sebuah batu yang dihancurkan sebagaimana mestinya akan tetap menjadi sebuah batu yang keras, tetapi Injil akan meleburnya.”  Marilah kita  berdamai dengan sesama sekarang juga jangan tunda besok karena hidup besok kita tidak tahu!

Oleh : Bredly Sampouw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar